Langsung ke konten utama

Jurnal 72; CerBung - Tourist chapter 2


Tourist - Chapter 2

“Hmm mm mm..” senandung Ara terdengar dari arah dapur mengikuti irama musik dari pengeras suara di ruang tengah yang memecah keheningan rumah. Sudah seminggu berlalu sejak penemuan mayat didepan rumah. Hingga saat ini orang tuanya masih belum pulang dari pulang kampung, karena bapak langsung bertolak ke kota lain untuk proyeknya, sedangkan mamak masih ingin di kampung halaman, maklum, sudah bertahun-tahun sejak ia terakhir pulang ke kampung halaman tempat kakek dan neneknya tinggal.
Ruang tengah tampak lebih penuh dari biasanya. Penuh dengan kertas dan buku yang bertebaran di sekitar laptop yang Ara letakkan tepat di tengah ruangan di atas meja pendek yang ia ambil dari kamar. Berusaha untuk meneruskan tugas akhirnya setelah survey lapangan kemarin. Hanya saja saat ini mulut dan perutnya mengkhianati rencananya, sangat ingin mengunyah. Alhasil, di dapurlah Ara sekarang sibuk membuat adonan kue dan memasukkannya kedalam panggangan.
Sembari menunggu panggangan selesai, setelah membereskan dapur, ia kembali ke ruang tengah, melihat ponselnya yang ternyata ada 5 panggilan tak terjawab dan 2 pesan dari bapaknya menanyakan keadaan dan dimana ia sekarang dan langsung dibalasnya, lalu melanjutkan game yang ia tinggalkan tadi.
Ting!
Digesernya ponsel dari sisi Tamtam, kucing hitam gemuk berbulu lebat mengkilap miliknya yang sedari tadi mendengkur tidur di atas tumpukan kertas dengan ujung kaki dan melirik pengirim pesan yang ternyata adalah mamak.
M: Ra, anaknya teman Bapak sama kawan-kawannya mau sewa vila di belakang, kamu bersihin dulu ya Ra? Bawa selimut-selimut yang ada di lemari di kamar belakang, sekalian sarung bantal sama seprainya diganti ya, di vila belakang sudah ada kok.
A: semuanya? Susah mak, banyak kali..
M: Cuma nyapu dan pasang seprai aja ra. Pakai motor aja Ra, yang mau sewa besok pagi sampai disana, 5 orang. Minta temani Bibi Rina aja kalau nggak berani.
A: Bibi Rina lagi pergi kerumah besannya, mak. Ada syukuran disana, ntar sorelah ya..
Ara langsung lari ke dapur karena nyaring oven yang mulai berkicauan menanda matangnya panggangan. Wuiih.. akhirnya ngemil sehat, kikiknya geli melihat kue cokelat di dalam loyang segi empat di tangannya. ***

Matahari sudah tampak lelah dilangit sore yang mulai memerah merona saat Ara memarkirkan sepeda motornya di halaman vila kayu milik keluarganya. Diangkatnya sekeranjang penuh selimut dan seprai yang ia bawa dari rumah. Ternyata besar, pikirnya melihat ke sekeliling rumah. Persis dengan foto yang dikirimkan adiknya sebelumnya. Musim hujan membantu pertumbuhan bunga-bunga liar tumbuh dengan subur. Hamparan kuning bunga rumput liar yang berbaur dengan dibiarkan menghapar di sisi rumah mengarah menuju hutan kecil yang dibatasi oleh bambu cina yang sengaja ditanam satu garis lurus dari pagar depan.

Rumah akan tampak sangat cantik dan asri jika saja debu tebal tak menghiasi lantai. Untung saja kursi dan meja ditutupi oleh plastik putih sehingga ia tak terlalu sulit membersihkan rumah ini. Sesekali menggerutu disela acara bersih-bersih rumah dadakan ini. Untung ada vacum yang sedikit membantu. Perlu setidaknya 2 jam untuk menyelesaikan bersih-bersih rumah, sehingga saat selesai mengganti sprei, selimut dan bantal dari kamar terakhir, bulan sudah mulai nampak dari jendela. Sengaja ia hidupkan lampu seisi dan luar rumah agar terang. Dari jendela kamar ini tampak halaman belakang rumah hanya diterangi lampu di pintu belakang dan temaram cahaya bulan. Dan tentu saja tampak jelas tebing rendah di seberang sungai dengan titik-titik cahaya dari kunang-kunang meski hanya temaram bulan yang meneranginya.
Saat pertama sampai di desa ini, Ara tak habis pikir kenapa orang tuanya memutuskan pindah ke pinggiran kota kecil ini. Ara remaja tak banyak tanya tentang alasan kepindahan meski penasaran karena sebelumnya mereka tinggal di kota yang tak pernah tidur di siang dan malamnya. Terlebih, itu adalah awal tahun pertamanya di sekolah menengah pertama. Belakangan ia tahu bahwa ibunya yang seorang penulis membutuhkan riset tulisannya sekaligus mencari tempat yang tenang, sedangkan rumah lamanya dijadikan kontrakan untuk membantu keuangan yang saat itu jadi lebih krisis dibanding sebelumnya. Baru saat ayahnya mulai menerima kontrak kerja pembangunan beberapa instansi di luar kota ditambah buku diterbitkan serta tulisan sang ibu sudah mulai banyak di terbitkan di majalah, keuangan mulai membaik kembali. Hanya saja mereka sudah mulai betah tinggal di lingkungan baru mereka yang tenang meski tak bisa disebut desa ataupun kota. Masyarakat sekitar tak terlalu mau ikut campur masalah orang lain namun masih memiliki pikiran tertutup.
Sepuluh tahun beralamat dirumahnya tak membuatnya bisa sangat mengenal lingkungan rumah. Hanya jalan antara sekolah rumahlah yang ia tahu selama ini berkat aktivitas hariannya yang memang sekolah-rumah. Terlebih sejak 4 tahun yang lalu ia kuliah di kota lain yang membuatnya benar-benar nyaris hilang kontak dengan tempat tinggalnya kecuali saat libur semester yang ia habiskan dirumah seharian. Dan selama sepuluh tahun itu sering ia habiskan sendirian dirumah sejak kakaknya-Reva- menikah dan ikut suaminya tinggal di kota lain yang dekat dengan tempat kakak iparnya bekerja, sedangkan adiknya –Bunga- lebih sering ikut sang ibu berkelana kesana kemari untuk tulisannya dan tinggal di asrama sejak tiga tahun lalu di ibukota yang kini melanjutkan ke akademi di tempat kakek dan neneknya tinggal.
Hal yang biasa jika seperti saat ini ia sendiri dirumah, setidaknya terakhir kali empat tahun yang lalu saat ia duduk di bangku sekolah menengah atas. Jadi tak heran jika Ara masih duduk santai sendirian di depan televisi di ruang tengah vila yang tengah ia rapikan sembari melipat handuk-handuk kecil untuk di vila ini. Sore tadi Bibi Rina sudah memberi tahu akan menyusul ke vila sambil membawakan martabak isi daging kesukaannya.
“Assalamualaikum.” Terdengar pintu depan dibuka dan ditutup dengan pelan disusul suara buka-tutup lemari  yang ia yakin itu lemari sandal di dekat pintu dan derap langkah terburu khas yang sering di dengarnya.
“Waalaikum salam, cepet pulangnya Bibi? Katanya syukuran?” tanya Ara menoleh ke arah Rina, wanita paruh baya yang baru datang dengan membawa bungkusan plastik hitam ditangannya.
“Iya Ra, nih,” tuturnya menyerahkan bungkusan plastik berisi martabak  pada Ara dan segera menuju toilet dengan tergesa. Ara segera beranjak dan mengambil piring dari lemari dapur dan memindahkan martabak ke dalamnya. Dari ruang tengah terdengar dering telepon milik bibinya yang terus berdering dan kemudian mati, lalu berdering dan mati kembali.
“Bibi, hpnya bunyi dari tadi tuuh,” teriak Ara sembari melahap martabak dagingnya saat kembali ke ruang tengah dengan mata tetap tertuju ke televisi.
“Iya, bentar. Ra, kok hpmu nggak aktif tadi Bibi hubungi?” tanya Rina saat keluar dari kamar mandi dan kembali keruang tengah dengan membawa botol minum yang tadi diisi penuh oleh Ara saat datang.
“Lowbat,” sahutnya masih terus melahap martabak kemudian mengacungkannya kepada Rina menawarkan yang tentu saja disambut Rina dengan sigap. “Tadi ramai orang di depan rumahmu, waktu Bibi mau pergi kesinipun masih ramai. Ada kejadian apa?”
“Ha? Entahlah, rasanya nggak ada apa-apa siang ini.”
“ya ampun, mamakmu yang nelpon Ra!” Rina mengecek 5 panggilan tak terjawab dari ponselnya. Saat itu juga ponselnya berdering kembali.
“Halo yuk? Kenapa?.. Lowbat katanya.. nih lagi makan.. bentar,”  Rina menyodorkan smartphone miliknya pada Ara yang masih menonton sambil minum air dari botol yang dibawa Rina.
“Assalamualaikum, kenapa mak?.. ha? Katanya besok pagi?.. Aih, iya-iya bentar, untung udah selesai diberesi.. hmm.. Assalamualaikum.” Diserahkannya smartphone sang bibi kembali dengan wajah merengut dan segera membawa piring kotor ke dapur untuk dicuci.
“Kenapa ayuk, Ra?” tanya bibinya sembari melipat sisa handuk yang ada di kursi tengah.
“Orang yang mau sewa udah datang, Bibi. Sudah menunggu dirumah sejak magrib tadi katanya,” gerutu Ara mengeringkan piring yang ia cuci dengan serbet dan meletakkan ke lemari kembali.
“Oh, orang yang Bibi lihat tadi berarti. Jemputlah Ra, biar ini Bibi yang susun, letak dimana nih?”
“Di lemari kamar mandi aja Bibi, ya udah, aku ke rumah dulu ya Bibi.” Di sambarnya kunci motor dari meja dan bergegas keluar tanpa mendengar perkataan Rina, karena dipikiran Ara lebih cepat lebih baik. Sehingga ia bisa bertatap dengan laptopnya kembali di rumah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jurnal 23 Geografi Regional Indonesia: Pulau Sumatera

“SUMATERA” MAKALAH OLEH: DEWI SURYANI 13178/2009 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI JURUSAN GEOGRAFI FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI PADANG 2012   KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis sampaikan kepada Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka Penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul “ Sumatera ” ini. Pada kesempatan ini, tak lupa Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kelancaran pembuatan dan dalam melengkapi isi makalah yang sebelumnya tidak diketahui oleh Penulis. Penulis menyadari bahwa baik dalam penulisan maupun isi dari makalah ini masih memiliki kekurangan. Oleh sebab itu, Penulis mengharapkan sumbangan pemikiran berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan penulisan. Penulis berharap bahwa makalah ini dapat bermanfaat dalam pengembangan pengetahuan para pembaca mengenai Pulau Sumatera ...

jurnal 25 Langkah-Langkah Meraih Impian

  Meraih  Mimpi  Yuk!!! !!! Guys, pernah bermimpi nggak? Bagaimana impianmu itu? Sudahkah ada yang tercapai di hidupmu? Bagaikan didunia sihir, dengan memiliki impian, kita akan memiliki motivasi untuk hidup. Kenapa? Karena kita telah memiliki sesuatu yang ingin kita raih. Mau bukti? Lihat saja contoh yang paling terlihat, yaitu keberhasilan seorang Agnes Monica ataupun JK Rowling atau tokoh besar lain. Tentunya sebelum mereka berhasil sampai titik puncak saat ini, mereka memiliki mimpi. Mimpi yang benar-benar mereka inginkan. Nah, dari situlah timbul suatu keinginan untuk mewujudkan mimpi tersebut. Diikuti dengan niat yang sungguh-sungguh, maka bukan hal yang tidak mungkin jika mimpi yang kita inginkan akan dapat kita raih. Mimpi. Percaya atau tidak, setiap orang akan dengan mudah memiliki impian. Entah itu impian yang besar ataupun impian yang dekat dengan dirinya. Hanya saja, tidak semua orang beruntung untuk mewujudkannya. Untuk meraih impian kita, ap...

Jurnal 66: Dibuang Sayang, catatan Peta Ishoyet

Membuat peta ishoyet Langkah-langkah: 1.      Plotkan stasiun wilayah pengamatan, posisi stasiun (termasuk stasiun tetangga terdekat) jumlah curah hujan. 2.     Hubungkan masing-masing stasiun terdekat dengan garis sehingga membentuk bangun ∆ . 3.     Tentukan masing-masing titik curah hujan yang diinginkan berdasarkan interval yang ditetapkan sebelumnya (10, 20, 40, 50 dan 100)dengan menggunakan rumus dibawah ini. α AB    = jarak titik angka yang dicari N       = jarak antara stasiun A ke B NA     = angka curah hujan stasiun A NB      = angka curah hujan stasiun B 4.     Hubungkan masing-masing titik curah hujan yang sama dengan garis (tambahkan arah angin rata-rata wilayah) 5.     Tentukan luas masing-masing wilayah sesuai dengan metode bujur sangkar ...