Tourist - Chapter 2
“Hmm mm mm..” senandung Ara terdengar dari arah dapur
mengikuti irama musik dari pengeras suara di ruang tengah yang memecah
keheningan rumah. Sudah seminggu berlalu sejak penemuan mayat didepan rumah. Hingga
saat ini orang tuanya masih belum pulang dari pulang kampung, karena bapak
langsung bertolak ke kota lain untuk proyeknya, sedangkan mamak masih ingin di
kampung halaman, maklum, sudah bertahun-tahun sejak ia terakhir pulang ke
kampung halaman tempat kakek dan neneknya tinggal.
Ruang tengah tampak lebih penuh dari biasanya. Penuh
dengan kertas dan buku yang bertebaran di sekitar laptop yang Ara letakkan
tepat di tengah ruangan di atas meja pendek yang ia ambil dari kamar. Berusaha
untuk meneruskan tugas akhirnya setelah survey lapangan kemarin. Hanya saja
saat ini mulut dan perutnya mengkhianati rencananya, sangat ingin mengunyah.
Alhasil, di dapurlah Ara sekarang sibuk membuat adonan kue dan memasukkannya
kedalam panggangan.
Sembari menunggu panggangan selesai, setelah
membereskan dapur, ia kembali ke ruang tengah, melihat ponselnya yang ternyata
ada 5 panggilan tak terjawab dan 2 pesan dari bapaknya menanyakan keadaan dan
dimana ia sekarang dan langsung dibalasnya, lalu melanjutkan game yang ia
tinggalkan tadi.
Ting!
Digesernya ponsel dari sisi Tamtam, kucing hitam gemuk
berbulu lebat mengkilap miliknya yang sedari tadi mendengkur tidur di atas
tumpukan kertas dengan ujung kaki dan melirik pengirim pesan yang ternyata
adalah mamak.
M:
Ra, anaknya teman Bapak sama kawan-kawannya mau sewa vila di belakang, kamu
bersihin dulu ya Ra? Bawa selimut-selimut yang ada di lemari di kamar belakang,
sekalian sarung bantal sama seprainya diganti ya, di vila belakang sudah ada
kok.
A:
semuanya? Susah mak, banyak kali..
M:
Cuma nyapu dan pasang seprai aja ra. Pakai motor aja Ra, yang mau sewa besok
pagi sampai disana, 5 orang. Minta temani Bibi Rina aja kalau nggak berani.
A:
Bibi Rina lagi pergi kerumah besannya, mak. Ada syukuran disana, ntar sorelah
ya..
Ara langsung lari ke dapur
karena nyaring oven yang mulai berkicauan menanda matangnya panggangan. Wuiih..
akhirnya ngemil sehat, kikiknya geli melihat kue cokelat di dalam loyang segi
empat di tangannya. ***
Matahari sudah tampak
lelah dilangit sore yang mulai memerah merona saat Ara memarkirkan sepeda
motornya di halaman vila kayu milik keluarganya. Diangkatnya sekeranjang penuh
selimut dan seprai yang ia bawa dari rumah. Ternyata besar, pikirnya melihat ke
sekeliling rumah. Persis dengan foto yang dikirimkan adiknya sebelumnya. Musim
hujan membantu pertumbuhan bunga-bunga liar tumbuh dengan subur. Hamparan
kuning bunga rumput liar yang berbaur dengan dibiarkan menghapar di sisi rumah
mengarah menuju hutan kecil yang dibatasi oleh bambu cina yang sengaja ditanam
satu garis lurus dari pagar depan.
Rumah akan tampak sangat
cantik dan asri jika saja debu tebal tak menghiasi lantai. Untung saja kursi
dan meja ditutupi oleh plastik putih sehingga ia tak terlalu sulit membersihkan
rumah ini. Sesekali menggerutu disela acara bersih-bersih rumah dadakan ini.
Untung ada vacum yang sedikit membantu. Perlu setidaknya 2 jam untuk menyelesaikan
bersih-bersih rumah, sehingga saat selesai mengganti sprei, selimut dan bantal
dari kamar terakhir, bulan sudah mulai nampak dari jendela. Sengaja ia hidupkan
lampu seisi dan luar rumah agar terang. Dari jendela kamar ini tampak halaman
belakang rumah hanya diterangi lampu di pintu belakang dan temaram cahaya
bulan. Dan tentu saja tampak jelas tebing rendah di seberang sungai dengan titik-titik
cahaya dari kunang-kunang meski hanya temaram bulan yang meneranginya.
Saat pertama sampai di
desa ini, Ara tak habis pikir kenapa orang tuanya memutuskan pindah ke
pinggiran kota kecil ini. Ara remaja tak banyak tanya tentang alasan kepindahan
meski penasaran karena sebelumnya mereka tinggal di kota yang tak pernah tidur
di siang dan malamnya. Terlebih, itu adalah awal tahun pertamanya di sekolah
menengah pertama. Belakangan ia tahu bahwa ibunya yang seorang penulis
membutuhkan riset tulisannya sekaligus mencari tempat yang tenang, sedangkan
rumah lamanya dijadikan kontrakan untuk membantu keuangan yang saat itu jadi
lebih krisis dibanding sebelumnya. Baru saat ayahnya mulai menerima kontrak
kerja pembangunan beberapa instansi di luar kota ditambah buku diterbitkan
serta tulisan sang ibu sudah mulai banyak di terbitkan di majalah, keuangan
mulai membaik kembali. Hanya saja mereka sudah mulai betah tinggal di
lingkungan baru mereka yang tenang meski tak bisa disebut desa ataupun kota.
Masyarakat sekitar tak terlalu mau ikut campur masalah orang lain namun masih
memiliki pikiran tertutup.
Sepuluh tahun beralamat
dirumahnya tak membuatnya bisa sangat mengenal lingkungan rumah. Hanya jalan
antara sekolah rumahlah yang ia tahu selama ini berkat aktivitas hariannya yang
memang sekolah-rumah. Terlebih sejak 4 tahun yang lalu ia kuliah di kota lain
yang membuatnya benar-benar nyaris hilang kontak dengan tempat tinggalnya
kecuali saat libur semester yang ia habiskan dirumah seharian. Dan selama
sepuluh tahun itu sering ia habiskan sendirian dirumah sejak kakaknya-Reva-
menikah dan ikut suaminya tinggal di kota lain yang dekat dengan tempat kakak
iparnya bekerja, sedangkan adiknya –Bunga- lebih sering ikut sang ibu berkelana
kesana kemari untuk tulisannya dan tinggal di asrama sejak tiga tahun lalu di
ibukota yang kini melanjutkan ke akademi di tempat kakek dan neneknya tinggal.
Hal yang biasa jika
seperti saat ini ia sendiri dirumah, setidaknya terakhir kali empat tahun yang
lalu saat ia duduk di bangku sekolah menengah atas. Jadi tak heran jika Ara
masih duduk santai sendirian di depan televisi di ruang tengah vila yang tengah
ia rapikan sembari melipat handuk-handuk kecil untuk di vila ini. Sore tadi Bibi
Rina sudah memberi tahu akan menyusul ke vila sambil membawakan martabak isi
daging kesukaannya.
“Assalamualaikum.”
Terdengar pintu depan dibuka dan ditutup dengan pelan disusul suara buka-tutup
lemari yang ia yakin itu lemari sandal
di dekat pintu dan derap langkah terburu khas yang sering di dengarnya.
“Waalaikum salam, cepet
pulangnya Bibi? Katanya syukuran?” tanya Ara menoleh ke arah Rina, wanita paruh
baya yang baru datang dengan membawa bungkusan plastik hitam ditangannya.
“Iya Ra, nih,” tuturnya
menyerahkan bungkusan plastik berisi martabak
pada Ara dan segera menuju toilet dengan tergesa. Ara segera beranjak
dan mengambil piring dari lemari dapur dan memindahkan martabak ke dalamnya.
Dari ruang tengah terdengar dering telepon milik bibinya yang terus berdering
dan kemudian mati, lalu berdering dan mati kembali.
“Bibi, hpnya bunyi dari
tadi tuuh,” teriak Ara sembari melahap martabak dagingnya saat kembali ke ruang
tengah dengan mata tetap tertuju ke televisi.
“Iya, bentar. Ra, kok hpmu
nggak aktif tadi Bibi hubungi?” tanya Rina saat keluar dari kamar mandi dan
kembali keruang tengah dengan membawa botol minum yang tadi diisi penuh oleh
Ara saat datang.
“Lowbat,” sahutnya masih
terus melahap martabak kemudian mengacungkannya kepada Rina menawarkan yang
tentu saja disambut Rina dengan sigap. “Tadi ramai orang di depan rumahmu,
waktu Bibi mau pergi kesinipun masih ramai. Ada kejadian apa?”
“Ha? Entahlah, rasanya
nggak ada apa-apa siang ini.”
“ya ampun, mamakmu yang
nelpon Ra!” Rina mengecek 5 panggilan tak terjawab dari ponselnya. Saat itu
juga ponselnya berdering kembali.
“Halo yuk? Kenapa?.. Lowbat
katanya.. nih lagi makan.. bentar,” Rina
menyodorkan smartphone miliknya pada Ara yang masih menonton sambil minum air
dari botol yang dibawa Rina.
“Assalamualaikum, kenapa
mak?.. ha? Katanya besok pagi?.. Aih, iya-iya bentar, untung udah selesai diberesi..
hmm.. Assalamualaikum.” Diserahkannya smartphone sang bibi kembali dengan wajah
merengut dan segera membawa piring kotor ke dapur untuk dicuci.
“Kenapa ayuk, Ra?” tanya
bibinya sembari melipat sisa handuk yang ada di kursi tengah.
“Orang yang mau sewa udah
datang, Bibi. Sudah menunggu dirumah sejak magrib tadi katanya,” gerutu Ara
mengeringkan piring yang ia cuci dengan serbet dan meletakkan ke lemari kembali.
“Oh, orang yang Bibi lihat
tadi berarti. Jemputlah Ra, biar ini Bibi yang susun, letak dimana nih?”
“Di lemari kamar mandi aja
Bibi, ya udah, aku ke rumah dulu ya Bibi.” Di sambarnya kunci motor dari meja
dan bergegas keluar tanpa mendengar perkataan Rina, karena dipikiran Ara lebih
cepat lebih baik. Sehingga ia bisa bertatap dengan laptopnya kembali di rumah.
Komentar
Posting Komentar