Langsung ke konten utama

jurnal 70; CerBung; Tourist chapter 1

Turis ; chapter 1

Tok tok tok!!
Terdengar ketukan pintu dari pintu depan rumah nomor 23 kelurahan Tanah Hijau tersebut. Rumah berwarna putih dengan les merah kecoklatan pada kunsen kayu jendela dan pintu serta atapnya itu masih sepi. Suasana didalam rumah masih remang-remang oleh bayangan sinar matahari pagi diiringi ramai suara diluar rumah. Seluruh tirai dan gorden jendela masih tertutup mengahalangi sinar matahari yang mulai meninggi untuk menerangi isi rumah. Hanya terdengar deru angin dari kipas yang terus menyala semalam di kamar paling kecil berwarna hijau lembut dimana Ara sedang tidur saat itu.
Sejak seminggu ia tiba dirumah dan orang tuanya pulang kekampung halaman untuk mengantarkan adiknya yang bersekolah disana. Tidak banyak yang akan dilakukannya dirumah karena memang tidak banyak aktivitas didalam rumah yang ia lakukan. Setiap hari yang dilakukannya paling-paling hanya menonton, mendengarkan musik atau (yang paling jarang) menyusun tugas akhirnya agar bisa lulus kuliah secepatnya, yang sayangnya tidak mudah untuk dilakukan. Tentu saja hal itu tidak membutuhkan ruang gerak yang luas sehingga ia perlu kesana kemari dirumahnya sendiri. Ruang favoritnya seminggu ini adalah ruang tengah tepat di depan kamarnya, dimana dulu ia bersama seluruh keluarganya selalu berkumpul dan melakukan segala aktivitas diruang tersebut. Ruang yang hanya berisi televisi besar diatas meja dan seperangkat alat stereo lainnya. Didinding putihnya hanya tergantung dua bingkai foto berukuran sedang. Pada satu bingkai tampak fotonya bersama kakak adiknya di halaman depan rumah, sedangkan yang lain menunjukkan foto bayi yang tak lain adalah adiknya saat berusia 1 tahun. Benar-benar ruangan yang nyaris kosong.
Tak berbeda dengan kamarnya sendiri, hingga seminggu yang lalu Ara hanya memiliki lemari dan ranjang yang cukup besar hingga memenuhi isi kamarnya. Namun, untuk mengusir rasa bosannya sendiri dirumah, Ara mengeluarkan ranjang dan lemari tersebut dan menukar dengan ranjang dan lemari dari kamar belakang yang ukurannya lebih kecil. Terlebih ia membutuhkan ruang untuk buku-bukunya yang nyaris empat tahun selama kuliah ia kumpulkan. Mulai dari komik, novel, hingga buku bacaan serius lainnya ia angsur bawa pulang ke rumah agar tak terlalu banyak barang yang akan dibawa pulang saat ia menyelesaikan kuliahnya nanti. Alhasil, didalam kamar dipenuhi kardus berisi buku-buku koleksinya yang ternyata lumayan banyak.
Kini kamar Ara sudah terlihat lebih lapang dengan single bed yang ia ambil dari kamar belakang dan lemari pakaian dua pintu yang berukuran kecil. Bahkan ia menyulap rak sepatu usang tiga tingkat tak terawat yang berada di belakang rumah menjadi rak buku di kamarnya. Sisa buku lainnya ia biarkan didalam kardus karena memang belum memiliki rak buku, dan hanya ia letakkan di sudut kamar dan menutupnya dengan kain, menganggap itu adalah meja, tempat kipas yang masih menderu langsung keaarahnya yang masih tidur. Semua boneka dan bantal masih berserakan di lantai, kecuali guling kesayangan yang masih berada dipelukannya di dalam selimut biru bergambar karikatur domba seperti gumpalan awan. Selimut yang sudah ia pakai sejak smp, dibelikan ayahnya saat mereka pergi melihat pameran bersama kakak dan adiknya. Kakaknya mendapatkan selimut biru muda bergambar bunya, sedangkan adiknya mendapat selimut merah bergambar bola.
Tok tok tok!!
Terdengar kembali suara ketukan dari pintu depan untuk kesekian kalinya yang akhirnya berhasil membuat Ara membuka matanya dan duduk diatas ranjang, masih separuh sadar menoleh kesana-kemari.
“Ya, sebentar,” teriaknya lemah, kesal merasa terganggu tidurnya. Suara ketukan dari depan langsung berhenti. Semalam ia habis bergadang untuk menonton. Terlalu sepi selalu membuatnya ingin menonton dan tak bisa tidur.  Digapainya hoodie yang tergantung di belakang pintu dan langsung mengenakannya sampai menutupi rambutnya, kemudian keluar menuju pintu depan.
Tampak dua orang pria berdiri di depan pintu. Yang satu dengan gaya yang (menurut Ara) kurang rapi, mengenakan celana jeans belel dengan kemeja kotak-kotak berwarna merah hitam ditutupi oleh jaket kulit berwarna coklat kehitaman dan kacamata berbingkai biru velvet, sedang yang seorang lagi mengenakan seragam polantas. Tentu masalah serius, pikir Ara sembari membuka pintu dan menatap kedua orang tersebut dengan tatapan bertanya. Sebelah tangan masih memegang gagang pintu, sedangkan tangan lain masuk kekantong hoodienya.
“Selamat siang, kami dari kepolisian,” tutur si polantas menunjukkan sedangkan yang satu lagi menunjukkan kartu id miliknya dan menyimpan kembali.
“Kenapa pak?” tanya Ara masih blank. Mata bulatnya masih terasa lengket karena belum sempat mencuci muka dari tidurnya tadi.
“CCTV di depan masih berfungsi dik?”
“Mm?? Masih.”
“Bisa kami lihat hasil rekamannya untuk malam ini?” tanya si polantas.
“ng.. Mama sama papa sedang nggak ada, jadi..” tutur Ara ragu sejenak lalu melanjutkan,“memang buat apa pak? Mari masuk.”
Ara mempersilakan kedua tamu tak dikenalnya. Ia rasa akan baik-baik saja karena kedua orang ini adalah polisi. ia membimbing kedua orang tesebut memasuki rumah melewati ruang tamu dan ruang tengah yang temaram menuju ruang kerja ayahnya di sisi kanan rumah. Ruangan tersebut tampak lama tak tersentuh, karena memang seminggu ini tak dimasuki oleh si pemilik ruangan, dan Ara memang tak pernah memasuki ruangan itu jika ayahnya tak ada dirumah. Ayahya memang tak suka ada anak-anaknya memasuki ruang kerjanya karena takutnya mengganggu ia saat sedang merancang bangunan milik klien. Dan memang ruang itu penuh dengan miniatur bangunan rancangan ayahnya serta cetakan biru dan buku-buku. Dihidupkannya komputer, membuka folder rekaman cctv.
“Jam berapa pak?”
“Coba lihat sepanjang malam ini,” tutur si jaket kulit yang kemudian mengambil alih tempat Ara yang menyingkir setelah menemukan filenya. Ia menuju freezer kecil yang ada di samping rak file-file milik ayahnya dan mengambil 2 botol jus apel dan memberikan kepada kedua petugas yang masih sibuk memperhatikan isi video.
“Memang ada apa semalam pak?” tanya Ara pada si polantas sembari memberikan botol berisi jus tersebut.
“Loh, memangnya Adik nggak tahu? Di depan rumah adik kan masih ramai orang tuh.” Tanya si polantas heran. Ara hanya menggeleng, benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Semalam ia memang begadang, namun ia menonton dengan mengenakan headset hingga ia tertidur.
“Tadi pagi di pinggir jalan seberang rumah adik dtemukan mayat. Menurut laporan petugas keamanan, tadi malam belum ada. Jadi kami mau memastikan,” tutur polantas ingin melihat reaksi Ara. Ara hanya mengangguk-angguk sejenak, kemudian melotot menatap sang polantas kembali, baru sadar setelah lama mencerna ucapan sang polantas. Dilihatnya ekspresi puas di wajah polantas akan reaksi Ara.
“Di depan pak? Siapa pak?”
“Korban adalah warga disini juga. Namanya Abdul, kalau bisa saya tanya juga, Adik kenal orang ini?” tanya sang polantas membuka buku sakunya dan menunjukkan foto pada Ara.
“Bapak ini? Rasanya... Sepertinya memang orang sini, belum ada seminggu yang lalu dia pernah kesini mencari bapak. Innalillahi wainnailahi rojiun,” tuturnya saat melihat orang di foto tersebut.
“Sepertinya?” curiga sang polisi denga jaket kulit dengan sesekali menoleh sembari menyimak rekaman cctv.
“Tadi adek bilang sepertinya?” tanya polantas.
“Ha? Oh.. yeaah, saya lama nggak disini, jadi memang jarang kenal orang sini.”
“Jadi Pak Abdul mencari Bapak Adik  belum lama ini? Adik tahu apa yang sedang mereka bicarakan saat itu?” tanya polantas mulai tertarik dengan pernyataan Ara.
“Nggak ada, soalnya bapak saya sedang pergi pulang kampung dengan mamak, sekalian mengantar adik yang sekolah disana.”
“Adik ingat apa saja yang terjadi saat itu?”
“Dia Cuma cari bapak, karena bapak nggak ada dia nitip undangan itu,” tutur Ara menunjuk undangan yang tergeletak di sebelah komputer.
“Ada hal lain yang terjadi? Atau Adik ingat kapan tepatnya dia kesini?” tanya si jaket kulit.
“Kalau kapannya saya ingat pak, soalnya tepat saat saya pulang dari bandara mengantar keluarga saya. Hari rabu kemarin sekitar jam 7 malam, habis magrib. Kalau hal yang lain saya nggak tahu pak.” Jawabnya yakin. Sunyi mengelilingi ruang berukuran 3 x 6 meter tersebut. Canggung, batin Ara yang masih berdiri, kemudian meraih kursi plastik bulat di dekat dinding, memberikannya pada polantas, sedangkan ia sendiri duduk bersandar di lemari kaca hitam rendah yang sekaligus menjadi meja di tengah ruangan.
“Pekerjaan bapaknya adik apa?” tanya polantas lagi, matanya sibuk mengitari ruangan sambil meminum jus pemberian Ara tadi.
“Arsitek,” jawab Ara singkat. Kembali sunyi. “ngomong-ngomong mau dilihat semua langsung disini pak?”
“Mm, kalau memungkinkan,” jawab polantas. Matanya masih tak lepas dari Ara seolah mencari celah untuk tahu lebih banyak. Namun itu sia-sia karena memang Ara tak tahu apa-apa. Merasa tak nyaman, Ara menundukkan kepala menatap kosong pada kakinya sendiri.
“Kalau di tv-tv biasanya minta filenya,” gumam Ara pelan, namun cukup untuk bisa di dengar kedua polisi tersebut. Si jaket kulit berwajah masam, sedangkan polantas hanya menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal.
“Okay, ini dia. terimakasih dik,” tutur si jaket kulit berdiri dari kursinya setelah sekian lamanya –yang menurut Ara berjam-jam lamanya- dalam diam, membiarkan polantas yang sudah mendekat untuk melihat rekaman cctv. Penasaran, Ara mengintip dari tepi. Terlihat dari cctv, seseorang dengan celana jeans, kaos hitam, lengkap dengan topi bundar meletakkan bungkusan besar di tepi jalan dan masuk ke kebun seberang jalan.
“Jadi mayatnya ada didalam karung itu? Terus yang ke kebun itu pelakunya?” celetuk Ara penasaran dengan pelan. Polantas dan si jaket kulit hanya menoleh sekilas dan membuat catatan di buku saku masing-masing.
“Kalau itu pelakunya, mungkin pelaku juga terekam dari jalan kearah vila dalam kebun itu juga,” sambung Ara memecah hening membuat kedua tamunya berhenti menulis dan menoleh kearahnya.
“Disana ada vila dik? Adik tahu dimana vilanya?” tanya si jaket kulit. Ara menggeleng.
“Katanya Bapak bikin vila disana buat homestay. Dari fotonya lumayan cantik. tapi saya belum pernah kesana, Cuma kata adik saya yang sudah kesana, kalau pakai kendaraan mesti lewat jalan di samping mesjid depan, tapi kalau jalan kaki bisa lewat depan rumah sana, jalan setapak ini,” tutur Ara menunjuk ke arah layar dimana si pelaku menghilang. Ara menyingkir dari kedua tamunya kemudian muncul kembali dengan laptop yang sudah menyala ditangannya dan memperlihatkan foto adiknya di depan sebuah rumah kayu dua tingkat dengan banyak jendela besar didindingnya yang ditutupi oleh tirai putih di dalamnya. Di sekitar rumah tampak banyak bunga rerumputan kuning yang pendek dan jalan yang di lapisi kerikil abu abu-putih. Tiang dermaga di batang sungai terlihat di sudut foto.
“Cctv dari sana ada disimpan disini?” tanya si jaket kulit. Ara mengangkat bahu pertanda tak tahu sebagai jawaban. “itu bukan cctv yang bapak saya pasang. Coba tanya rumah di sekitar vila itu. Atau, bapak sekalian bisa tanya ke Bibi saya yang tingal di belakang. Saya tahu disana ada cctv dari beliau, siapa tahu beliau tahu siapa yang memasang cctv tersebut.”
“Oke, terimakasih dik,” pamit kedua polisi tersebut dan beranjak keluar rumah.
Matahari sudah semakin tinggi. Sepeninggalan kedua polisi tadi membuat Ara termenung. Ia duduk diam dengan jus apel di tangannya di kursi kayu teras rumahnya. Ya, ternyata didepan rumahnya masih ramai hingga saat ini. Bungkusan yang tadi dilihatnya dari cctv sudah menghilang dari seberang jalan. Beberapa orang polisi masih tampak di sekitar jalan. Pintu pagar depan  masih terbuka. Sepertinya ia lupa untuk mengunci pintu pagar malam tadi. Pantas saja kedua polisi tadi bisa mengetuk pintu rumahnya, pikirnya. Sudut matanya menangkap ujung kepala gerobak ketoprak di pintu pagarnya membangunkan lamunannya dan segera mendekati gerobak tersebut.
Dari luar pagar, orang yang bergerombol di pinggir jalan tampak lebih banyak. Wajah familiar dan wajah asing berkumpul membicarakan penemuan mayat tersebut. Bahkan penjual ketoprak tersebutpun ikut bergabung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jurnal 23 Geografi Regional Indonesia: Pulau Sumatera

“SUMATERA” MAKALAH OLEH: DEWI SURYANI 13178/2009 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI JURUSAN GEOGRAFI FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI PADANG 2012   KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis sampaikan kepada Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka Penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul “ Sumatera ” ini. Pada kesempatan ini, tak lupa Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kelancaran pembuatan dan dalam melengkapi isi makalah yang sebelumnya tidak diketahui oleh Penulis. Penulis menyadari bahwa baik dalam penulisan maupun isi dari makalah ini masih memiliki kekurangan. Oleh sebab itu, Penulis mengharapkan sumbangan pemikiran berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan penulisan. Penulis berharap bahwa makalah ini dapat bermanfaat dalam pengembangan pengetahuan para pembaca mengenai Pulau Sumatera ...

jurnal 25 Langkah-Langkah Meraih Impian

  Meraih  Mimpi  Yuk!!! !!! Guys, pernah bermimpi nggak? Bagaimana impianmu itu? Sudahkah ada yang tercapai di hidupmu? Bagaikan didunia sihir, dengan memiliki impian, kita akan memiliki motivasi untuk hidup. Kenapa? Karena kita telah memiliki sesuatu yang ingin kita raih. Mau bukti? Lihat saja contoh yang paling terlihat, yaitu keberhasilan seorang Agnes Monica ataupun JK Rowling atau tokoh besar lain. Tentunya sebelum mereka berhasil sampai titik puncak saat ini, mereka memiliki mimpi. Mimpi yang benar-benar mereka inginkan. Nah, dari situlah timbul suatu keinginan untuk mewujudkan mimpi tersebut. Diikuti dengan niat yang sungguh-sungguh, maka bukan hal yang tidak mungkin jika mimpi yang kita inginkan akan dapat kita raih. Mimpi. Percaya atau tidak, setiap orang akan dengan mudah memiliki impian. Entah itu impian yang besar ataupun impian yang dekat dengan dirinya. Hanya saja, tidak semua orang beruntung untuk mewujudkannya. Untuk meraih impian kita, ap...

Jurnal 66: Dibuang Sayang, catatan Peta Ishoyet

Membuat peta ishoyet Langkah-langkah: 1.      Plotkan stasiun wilayah pengamatan, posisi stasiun (termasuk stasiun tetangga terdekat) jumlah curah hujan. 2.     Hubungkan masing-masing stasiun terdekat dengan garis sehingga membentuk bangun ∆ . 3.     Tentukan masing-masing titik curah hujan yang diinginkan berdasarkan interval yang ditetapkan sebelumnya (10, 20, 40, 50 dan 100)dengan menggunakan rumus dibawah ini. α AB    = jarak titik angka yang dicari N       = jarak antara stasiun A ke B NA     = angka curah hujan stasiun A NB      = angka curah hujan stasiun B 4.     Hubungkan masing-masing titik curah hujan yang sama dengan garis (tambahkan arah angin rata-rata wilayah) 5.     Tentukan luas masing-masing wilayah sesuai dengan metode bujur sangkar ...