Turis ; chapter 1
Tok tok tok!!
Terdengar ketukan pintu dari pintu depan rumah nomor 23
kelurahan Tanah Hijau tersebut. Rumah berwarna putih dengan les merah
kecoklatan pada kunsen kayu jendela dan pintu serta atapnya itu masih sepi.
Suasana didalam rumah masih remang-remang oleh bayangan sinar matahari pagi
diiringi ramai suara diluar rumah. Seluruh tirai dan gorden jendela masih
tertutup mengahalangi sinar matahari yang mulai meninggi untuk menerangi isi
rumah. Hanya terdengar deru angin dari kipas yang terus menyala semalam di
kamar paling kecil berwarna hijau lembut dimana Ara sedang tidur saat itu.
Sejak seminggu ia tiba dirumah dan orang tuanya pulang
kekampung halaman untuk mengantarkan adiknya yang bersekolah disana. Tidak banyak
yang akan dilakukannya dirumah karena memang tidak banyak aktivitas didalam
rumah yang ia lakukan. Setiap hari yang dilakukannya paling-paling hanya
menonton, mendengarkan musik atau (yang paling jarang) menyusun tugas akhirnya
agar bisa lulus kuliah secepatnya, yang sayangnya tidak mudah untuk dilakukan.
Tentu saja hal itu tidak membutuhkan ruang gerak yang luas sehingga ia perlu
kesana kemari dirumahnya sendiri. Ruang favoritnya seminggu ini adalah ruang
tengah tepat di depan kamarnya, dimana dulu ia bersama seluruh keluarganya
selalu berkumpul dan melakukan segala aktivitas diruang tersebut. Ruang yang
hanya berisi televisi besar diatas meja dan seperangkat alat stereo lainnya.
Didinding putihnya hanya tergantung dua bingkai foto berukuran sedang. Pada
satu bingkai tampak fotonya bersama kakak adiknya di halaman depan rumah,
sedangkan yang lain menunjukkan foto bayi yang tak lain adalah adiknya saat
berusia 1 tahun. Benar-benar ruangan yang nyaris kosong.
Tak berbeda dengan kamarnya sendiri, hingga seminggu
yang lalu Ara hanya memiliki lemari dan ranjang yang cukup besar hingga
memenuhi isi kamarnya. Namun, untuk mengusir rasa bosannya sendiri dirumah, Ara
mengeluarkan ranjang dan lemari tersebut dan menukar dengan ranjang dan lemari
dari kamar belakang yang ukurannya lebih kecil. Terlebih ia membutuhkan ruang
untuk buku-bukunya yang nyaris empat tahun selama kuliah ia kumpulkan. Mulai
dari komik, novel, hingga buku bacaan serius lainnya ia angsur bawa pulang ke
rumah agar tak terlalu banyak barang yang akan dibawa pulang saat ia
menyelesaikan kuliahnya nanti. Alhasil, didalam kamar dipenuhi kardus berisi
buku-buku koleksinya yang ternyata lumayan banyak.
Kini kamar Ara sudah terlihat lebih lapang dengan
single bed yang ia ambil dari kamar belakang dan lemari pakaian dua pintu yang
berukuran kecil. Bahkan ia menyulap rak sepatu usang tiga tingkat tak terawat
yang berada di belakang rumah menjadi rak buku di kamarnya. Sisa buku lainnya
ia biarkan didalam kardus karena memang belum memiliki rak buku, dan hanya ia
letakkan di sudut kamar dan menutupnya dengan kain, menganggap itu adalah meja,
tempat kipas yang masih menderu langsung keaarahnya yang masih tidur. Semua
boneka dan bantal masih berserakan di lantai, kecuali guling kesayangan yang
masih berada dipelukannya di dalam selimut biru bergambar karikatur domba
seperti gumpalan awan. Selimut yang sudah ia pakai sejak smp, dibelikan ayahnya
saat mereka pergi melihat pameran bersama kakak dan adiknya. Kakaknya
mendapatkan selimut biru muda bergambar bunya, sedangkan adiknya mendapat
selimut merah bergambar bola.
Tok tok tok!!
Terdengar kembali suara ketukan dari pintu depan untuk
kesekian kalinya yang akhirnya berhasil membuat Ara membuka matanya dan duduk
diatas ranjang, masih separuh sadar menoleh kesana-kemari.
“Ya, sebentar,” teriaknya lemah, kesal merasa terganggu
tidurnya. Suara ketukan dari depan langsung berhenti. Semalam ia habis
bergadang untuk menonton. Terlalu sepi selalu membuatnya ingin menonton dan tak
bisa tidur. Digapainya hoodie yang
tergantung di belakang pintu dan langsung mengenakannya sampai menutupi
rambutnya, kemudian keluar menuju pintu depan.
Tampak dua orang pria berdiri di depan pintu. Yang satu
dengan gaya yang (menurut Ara) kurang rapi, mengenakan celana jeans belel
dengan kemeja kotak-kotak berwarna merah hitam ditutupi oleh jaket kulit
berwarna coklat kehitaman dan kacamata berbingkai biru velvet, sedang yang
seorang lagi mengenakan seragam polantas. Tentu masalah serius, pikir Ara
sembari membuka pintu dan menatap kedua orang tersebut dengan tatapan bertanya.
Sebelah tangan masih memegang gagang pintu, sedangkan tangan lain masuk
kekantong hoodienya.
“Selamat siang, kami dari kepolisian,” tutur si
polantas menunjukkan sedangkan yang satu lagi menunjukkan kartu id miliknya dan
menyimpan kembali.
“Kenapa pak?” tanya Ara masih blank. Mata bulatnya
masih terasa lengket karena belum sempat mencuci muka dari tidurnya tadi.
“CCTV di depan masih berfungsi dik?”
“Mm?? Masih.”
“Bisa kami lihat hasil rekamannya untuk malam ini?”
tanya si polantas.
“ng.. Mama sama papa sedang nggak ada, jadi..” tutur
Ara ragu sejenak lalu melanjutkan,“memang buat apa pak? Mari masuk.”
Ara mempersilakan kedua tamu tak dikenalnya. Ia rasa
akan baik-baik saja karena kedua orang ini adalah polisi. ia membimbing kedua
orang tesebut memasuki rumah melewati ruang tamu dan ruang tengah yang temaram
menuju ruang kerja ayahnya di sisi kanan rumah. Ruangan tersebut tampak lama
tak tersentuh, karena memang seminggu ini tak dimasuki oleh si pemilik ruangan,
dan Ara memang tak pernah memasuki ruangan itu jika ayahnya tak ada dirumah.
Ayahya memang tak suka ada anak-anaknya memasuki ruang kerjanya karena takutnya
mengganggu ia saat sedang merancang bangunan milik klien. Dan memang ruang itu
penuh dengan miniatur bangunan rancangan ayahnya serta cetakan biru dan
buku-buku. Dihidupkannya komputer, membuka folder rekaman cctv.
“Jam berapa pak?”
“Coba lihat sepanjang malam ini,” tutur si jaket kulit
yang kemudian mengambil alih tempat Ara yang menyingkir setelah menemukan filenya.
Ia menuju freezer kecil yang ada di samping rak file-file milik ayahnya dan
mengambil 2 botol jus apel dan memberikan kepada kedua petugas yang masih sibuk
memperhatikan isi video.
“Memang ada apa semalam pak?” tanya Ara pada si
polantas sembari memberikan botol berisi jus tersebut.
“Loh, memangnya Adik nggak tahu? Di depan rumah adik
kan masih ramai orang tuh.” Tanya si polantas heran. Ara hanya menggeleng,
benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Semalam ia memang begadang, namun ia
menonton dengan mengenakan headset hingga ia tertidur.
“Tadi pagi di pinggir jalan seberang rumah adik
dtemukan mayat. Menurut laporan petugas keamanan, tadi malam belum ada. Jadi
kami mau memastikan,” tutur polantas ingin melihat reaksi Ara. Ara hanya
mengangguk-angguk sejenak, kemudian melotot menatap sang polantas kembali, baru
sadar setelah lama mencerna ucapan sang polantas. Dilihatnya ekspresi puas di
wajah polantas akan reaksi Ara.
“Di depan pak? Siapa pak?”
“Korban adalah warga disini juga. Namanya Abdul, kalau
bisa saya tanya juga, Adik kenal orang ini?” tanya sang polantas membuka buku
sakunya dan menunjukkan foto pada Ara.
“Bapak ini? Rasanya... Sepertinya memang orang sini, belum
ada seminggu yang lalu dia pernah kesini mencari bapak. Innalillahi wainnailahi
rojiun,” tuturnya saat melihat orang di foto tersebut.
“Sepertinya?” curiga sang polisi denga jaket kulit
dengan sesekali menoleh sembari menyimak rekaman cctv.
“Tadi adek bilang sepertinya?” tanya polantas.
“Ha? Oh.. yeaah, saya lama nggak disini, jadi memang jarang
kenal orang sini.”
“Jadi Pak Abdul mencari Bapak Adik belum lama ini? Adik tahu apa yang sedang
mereka bicarakan saat itu?” tanya polantas mulai tertarik dengan pernyataan
Ara.
“Nggak ada, soalnya bapak saya sedang pergi pulang
kampung dengan mamak, sekalian mengantar adik yang sekolah disana.”
“Adik ingat apa saja yang terjadi saat itu?”
“Dia Cuma cari bapak, karena bapak nggak ada dia nitip
undangan itu,” tutur Ara menunjuk undangan yang tergeletak di sebelah komputer.
“Ada hal lain yang terjadi? Atau Adik ingat kapan
tepatnya dia kesini?” tanya si jaket kulit.
“Kalau kapannya saya ingat pak, soalnya tepat saat saya
pulang dari bandara mengantar keluarga saya. Hari rabu kemarin sekitar jam 7
malam, habis magrib. Kalau hal yang lain saya nggak tahu pak.” Jawabnya yakin.
Sunyi mengelilingi ruang berukuran 3 x 6 meter tersebut. Canggung, batin Ara
yang masih berdiri, kemudian meraih kursi plastik bulat di dekat dinding,
memberikannya pada polantas, sedangkan ia sendiri duduk bersandar di lemari kaca
hitam rendah yang sekaligus menjadi meja di tengah ruangan.
“Pekerjaan bapaknya adik apa?” tanya polantas lagi,
matanya sibuk mengitari ruangan sambil meminum jus pemberian Ara tadi.
“Arsitek,” jawab Ara singkat. Kembali sunyi.
“ngomong-ngomong mau dilihat semua langsung disini pak?”
“Mm, kalau memungkinkan,” jawab polantas. Matanya masih
tak lepas dari Ara seolah mencari celah untuk tahu lebih banyak. Namun itu
sia-sia karena memang Ara tak tahu apa-apa. Merasa tak nyaman, Ara menundukkan
kepala menatap kosong pada kakinya sendiri.
“Kalau di tv-tv biasanya minta filenya,” gumam Ara
pelan, namun cukup untuk bisa di dengar kedua polisi tersebut. Si jaket kulit
berwajah masam, sedangkan polantas hanya menggaruk-garuk belakang kepalanya
yang tidak gatal.
“Okay, ini dia. terimakasih dik,” tutur si jaket kulit
berdiri dari kursinya setelah sekian lamanya –yang menurut Ara berjam-jam lamanya-
dalam diam, membiarkan polantas yang sudah mendekat untuk melihat rekaman cctv.
Penasaran, Ara mengintip dari tepi. Terlihat dari cctv, seseorang dengan celana
jeans, kaos hitam, lengkap dengan topi bundar meletakkan bungkusan besar di
tepi jalan dan masuk ke kebun seberang jalan.
“Jadi mayatnya ada didalam karung itu? Terus yang ke
kebun itu pelakunya?” celetuk Ara penasaran dengan pelan. Polantas dan si jaket
kulit hanya menoleh sekilas dan membuat catatan di buku saku masing-masing.
“Kalau itu pelakunya, mungkin pelaku juga terekam dari
jalan kearah vila dalam kebun itu juga,” sambung Ara memecah hening membuat
kedua tamunya berhenti menulis dan menoleh kearahnya.
“Disana ada vila dik? Adik tahu dimana vilanya?” tanya
si jaket kulit. Ara menggeleng.
“Katanya Bapak bikin vila disana buat homestay. Dari
fotonya lumayan cantik. tapi saya belum pernah kesana, Cuma kata adik saya yang
sudah kesana, kalau pakai kendaraan mesti lewat jalan di samping mesjid depan,
tapi kalau jalan kaki bisa lewat depan rumah sana, jalan setapak ini,” tutur
Ara menunjuk ke arah layar dimana si pelaku menghilang. Ara menyingkir dari
kedua tamunya kemudian muncul kembali dengan laptop yang sudah menyala
ditangannya dan memperlihatkan foto adiknya di depan sebuah rumah kayu dua
tingkat dengan banyak jendela besar didindingnya yang ditutupi oleh tirai putih
di dalamnya. Di sekitar rumah tampak banyak bunga rerumputan kuning yang pendek
dan jalan yang di lapisi kerikil abu abu-putih. Tiang dermaga di batang sungai
terlihat di sudut foto.
“Cctv dari sana ada disimpan disini?” tanya si jaket
kulit. Ara mengangkat bahu pertanda tak tahu sebagai jawaban. “itu bukan cctv
yang bapak saya pasang. Coba tanya rumah di sekitar vila itu. Atau, bapak
sekalian bisa tanya ke Bibi saya yang tingal di belakang. Saya tahu disana ada
cctv dari beliau, siapa tahu beliau tahu siapa yang memasang cctv tersebut.”
“Oke, terimakasih dik,” pamit kedua polisi tersebut dan
beranjak keluar rumah.
Matahari sudah semakin tinggi. Sepeninggalan kedua
polisi tadi membuat Ara termenung. Ia duduk diam dengan jus apel di tangannya
di kursi kayu teras rumahnya. Ya, ternyata didepan rumahnya masih ramai hingga
saat ini. Bungkusan yang tadi dilihatnya dari cctv sudah menghilang dari
seberang jalan. Beberapa orang polisi masih tampak di sekitar jalan. Pintu
pagar depan masih terbuka. Sepertinya ia
lupa untuk mengunci pintu pagar malam tadi. Pantas saja kedua polisi tadi bisa
mengetuk pintu rumahnya, pikirnya. Sudut matanya menangkap ujung kepala gerobak
ketoprak di pintu pagarnya membangunkan lamunannya dan segera mendekati gerobak
tersebut.
Dari luar pagar, orang yang
bergerombol di pinggir jalan tampak lebih banyak. Wajah familiar dan wajah
asing berkumpul membicarakan penemuan mayat tersebut. Bahkan penjual ketoprak
tersebutpun ikut bergabung.
Komentar
Posting Komentar